Jumat, 13 Desember 2013

Meningkatkan Kinerja Bisnis Dengan Kesepahaman


“Tidak tahu diri!”. Barangkali kata-kata itu terlintas ketika menyaksikan daftar kebutuhan dan besaran tuntutan kenaikan upah buruh di Jakarta. Ketika ekonomi global mengalami krisis, invasi produk murah Made in China, dan penurunan daya saing, buruh justru menuntut kenaikan upah yang tidak rasional tanpa melihat kondisi ekonomi, mengkaji produktifitas dan kontribusinya.

“Tidak manusiawi”. Tapi jika melihat besaran upah sejumlah perusahaan kepada karyawannya, kalimat itulah yang meluncur. Karyawan hidup pas-pasan di rumah petak kontrakan padahal telah mengabdi dan berkontribusi sejak perusahaan berdiri. Gaji kadang tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara petinggi perusahaan hidup mewah dan membeli barang mahal dengan gampangnya.

Dalam dunia industri dan perdagangan upah buruh adalah buah simalakama. Jika upah terlalu rendah rentan konflik, sedangkan jika terlalu tinggi bisa mengganggu cash flow perusahaan, dan menurunkan daya saing produk.

Upah yang sangat tinggi pun belum tentu baik buat buruh. Bayangkan jika upah buruh naik 3-4 kali lipat namun perusahaan hanya bertahan 6 bulan karena tidak mampu membayar upah. Sehingga baik buruh maupun pengusaha pada dasarnya membutuhkan besaran upah yang rasional dan menguntungkan kedua pihak, di sanalah diperlukan peran dan kebijakan pemerintah sebagai penengah. Dan saat diputuskan upah buruh naik, baik pengusaha maupun buruh perlu menyikapinya dengan bijak untuk bersama-sama meningkatkan kinerja bisnis perusahaan.

Sebagai buruh, kenaikan upah tentu saja hal yang harus disyukuri. Bentuk syukur buruh bukan hanya menghentikan demonstrasi kontra produktif, tetapi juga melakukan introspeksi dengan meningkatkan kinerja, memperbaiki budaya kerja dan kontribusi kepada perusahaan. Jika perusahaan maju dan keuntungan meningkat, sebetulnya tidak ada alasan buruh untuk tidak ikut merasakan kemajuan itu secara langsung.

Buruh di bagian sales dan marketing meningkatkan kinerja dengan penjualan dan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, apalagi nilai penjualan biasanya menentukan prestasi dan pendapatan bagian sales-marketing. Sementara di bagian produksi dan keuangan, meningkatkan konsentrasi dalam bekerja merupakan hal yang bisa meningkatkan kinerja, mengurangi kesalahan pendataan, serta meningkatkan kualitas produk.

Sebagai pengusaha melakukan pengembangan berkelanjutan dari sisi pribadi maupun organisasi adalah tuntutan yang harus dihadapi setiap saat, termasuk dalam menghadapi kenaikan upah tersebut. Untuk itu yang paling awal ditanamkan adalah memupuk sikap positif bahwa karyawan adalah aset terbesar perusahaan, dan mengingat bahwa perusahaan kita adalah saluran rezeki bagi banyak orang yang perlu dijaga. Dengan sikap positif itulah bukan hanya bisnis perusahaan yang berkembang tetapi profil pribadi sebagai pengusaha juga akan berkembang.

Secara organisasi sejak proses awal penerimaan karyawan hingga pengembangan dirinya memegang peranan penting dalam menghadapi isu-isu kenaikan upah. Karyawan yang memiliki sikap positif, mau belajar, dan terbuka terhadap perubahan lebih memiliki potensi untuk bisa membantu dalam kondisi tersulit yang mungkin dihadapi pengusaha. Sehingga ketika kenaikan upah terjadi bisa bersama-sama bahu-membahu menghadapi kondisi tersebut.

Pengusaha perlu mengkomunikasikan persoalan yang dihadapi perusahaan, termasuk saat terjadi kenaikan upah kepada buruh agar terbangun kondisi saling memahami. Di satu sisi kenaikan upah menjadi pukulan untuk biaya operasional perusahaan, tetapi juga menjadi momentum untuk meningkatkan motivasi buruh. Meskipun pengaruh besar/kecilnya kenaikan upah tidak serta merta meningkatkan motivasi bekerja, sebagaimana yang ditunjukan oleh penelitian Daniel Pink dalam : http://www.ted.com/talks/dan_pink_on_motivation.html.  Tidak selalu kenaikan upah meningkatkan motivasi untuk lebih produktif, tetapi melalui pemahaman dan komunikasi yang baik momentum untuk meningkatkan motivasi buruh bisa dijaga. Komunikasi yang terbentuk antara buruh dan pengusaha diharapkan juga bisa menumbuhkan rasa saling memahami dan saling menghargai terhadap perannya masing-masing yang pada gilirannya meningkatkan motivasi untuk lebih produktif di kedua belah pihak.

Sebagai contoh, di sebuah perusahaan Jepang tempat saya pernah bekerja, setiap senin selalu diadakan briefing yang dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi. Dalam briefing yang kadang dihadiri pemilik perusahaan, pihak manajemen menginformasikan kondisi perusahaan, proyeksi penjualan, hingga profit, sementara pihak karyawan menginformasikan segala hal yang dihadapi di lapangan dan apa saja yang perlu bantuan manajemen untuk dipecahkan. Komunikasi tersebut juga memupuk kedekatan dan kekeluargaan baik antar buruh maupun antara buruh dengan pemilik perusahaan.

Di samping komunikasi, sebagai makhluk sosial, penghargaan juga merupakan hal yang penting untuk diberikan pengusaha kepada buruh. Penghargaan tersebut bisa dalam berbagai bentuk, penghargaan terhadap pekerjaan, ide, inovasi, kedisiplinan, kualitas kerja, kebersihan, kebutuhan untuk berkumpul dengan keluarga, dan lain-lain, bisa menjadi penyemangat bagi buruh untuk lebih produktif. Penghargaan-penghargaan tersebut bisa lebih bernilai daripada uang karena buruh lebih merasa dimanusiakan. Penelitian menunjukan bahwa orang yang merasa dihargai akan lebih bahagia, dan orang bahagia selalu lebih baik dalam melakukan pekerjaan apa pun. Perusahaan seperti Apple dan Google terkenal karena membangun lingkungan sangat menghargai kreasi setiap karyawannya.

Di negara-negara maju stock option (opsi pemilikan saham) adalah salah satu imbalan yang diberikan kepada pegawai yang berprestasi. Melalui opsi perolehan saham ini setiap buruh terpacu untuk berprestasi dan produktif karena bukan hanya tumbuh rasa memiliki tetapi juga memiliki dengan sebenarnya perusahaan tempat bekerja.

Beberapa hal tersebut adalah hal-hal yang bisa meningkatkan kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan bukan hanya ditentukan oleh hebatnya visi dan kebijakan seorang pengusaha, tetapi oleh gerak kerja seluruh komponen perusahaan. Sehingga meningkatkan kinerja perusahaan semestinya diawali dari peningkatan motivasi dan gerak seluruh komponen perusahaan.

Terakhir, meskipun upah buruh adalah salah satu persoalan pelik, tetapi dengan kesepahaman berbagai pihak pasti bisa diperoleh jalan keluar terbaik. Dengan kesepahaman dan budaya saling menghargai, pandangan buruh terhadap pengusaha sebagai (maaf) vampire serakah, atau pengusaha memandang buruh sebagai (sekali lagi maaf) sapi perah pemalas, segera terhapus. Kemudian digantikan oleh pandangan positif dan saling empati sebenar-benarnya antara buruh, manajemen dan pengusaha, sehingga semua bisa bersinergi untuk lebih memajukan perusahaan, dan memajukan bangsa pada umumnya.


Ditulis untuk lomba esai 2 Ciputra Entrepreneurship : www.ciputraentrepreneurship.com
Bogor, 11 Desember 2013

Jumat, 06 Desember 2013

Poligami dan Rasio Kependudukan



Indonesia adalah negeri konsumtif, di sini apa saja laku dijual bung!
Termasuk diantara komoditas yang selalu ramai menarik pembeli adalah isu poligami, laki-laki beristri lebih dari satu. Sebegitu ramainya isu poligami, sampai urusan yang seharusnya ada di ranah pribadi ini dijual juga di dunia politik. Hebat kan?

Terlepas dari beragam alasan orang memutuskan untuk poligami, ada satu argumen yang tampak cukup ilmiah dan mulia untuk mendukung praktik poligami yaitu:

jumlah perempuan saat ini jauh lebih banyak daripada jumlah laki laki

Nah,... logis kan kalau laki-laki bisa, boleh, bahkan HARUS beristri lebih dari satu. Niatnya menolong loh, daripada nggak laku :P!

Benarkah demikian?
Sebelum kita memeriksa data yang ada, kita fahamkan dulu beberapa angka yang akan disajikan dalam tulisan ini.

Rasio jenis kelamin biasanya dihitung dengan nilai jumlah laki-laki/jumlah perempuan.
Angka 1,08 menunjukan populasi 108 laki laki berbanding 100 perempuan.
Artinya angka di atas 1 menunjukan jumlah laki-laki lebih besar, dan di bawah 1 menunjukan perempuan yang lebih banyak.

Dan, hasilnya:.................. Rasio jumlah laki-laki terhadap perempuan secara total di dunia adalah 1,01.

Merah: Wilayah dengan populasi laki-laki lebih banyak
Biru : Wilayah dengan populasi perempuan lebih banyak
Hijau: Wilayah dengan populasi laki-laki : perempuan seimbang
(sumber: wikipedia)

Ternyata jumlah laki-laki di dunia lebih banyak dari jumlah perempuan.
Jadi ibu-ibu boleh menarik nafas lega, aman!

Nilai rasio ini bervariasi untuk berbagai negara di dunia.
Di Arab, China dan Asia Tengah misalnya, rasio jumlah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sementara di Amerika, Eropa dan Rusia justru jumlah perempuan lebih tinggi.
Indonesia sendiri termasuk pada negara yang seimbang antara jumlah laki-laki dan perempuan ( nilai rasio pada kisaran 1)

Pengamatan beberapa dekade menunjukan pada kondisi damai nilai tersebut cenderung konstan, hampir tidak ada perubahan meskipun orang lahir dan meninggal. Abnormalitas terjadi ketika perang berlangsung atau daerah konflik.

Untuk usia di bawah 15 tahun Rasio tersebut bernilai 1,07, sementara pada usia poduktif (16-64 tahun) rasio laki-laki:perempuan adalah 1,02. Artinya angka harapan hidup perempuan lebih tinggi.

Menariknya, dari angka 1,02 tersebut nilainya menyusut sangat curam untuk orang berusia di atas 64 tahun.

Nilai rasio untuk usia lanjut adalah 0,79. Ya,... jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada jumlah laki-laki.

Back to poligami.  Rasulullah baru menikah lagi pada usia 51 tahun dengan perempuan yang sudah lanjut usia dan beranak banyak, setelah Khadijah RA lebih dahulu wafat.

Nah,...bisa dilihat alasan sebenarnya Rasulullah melakukan poligami? Yang harus diingat, zaman itu belum ada sensus penduduk yang menunjukan bahwa perempuan lanjut usia jauh lebih banyak daripada jumlah laki-lakinya.

Ini menurut saya pribadi lho ya.
Kalau mau nikah lagi silahkan saja,.. suka-suka anda saja. Toh diri anda, duit-duit anda, otong juga punya anda,.... resiko ditanggung pribadi kan?

Tapi, jika memang poligami karena alasan agama, tentu acuan terbaiknya adalah Rasulullah SAW.
Praktikkan persis seperti yang Rasulullah SAW lakukan, tidak lebih dan tidak kurang.
Nikahi janda tua yang beranak banyak.

Ini ada orang titelnya ustadz, poligami nikahin cewek cantik, bohai, bahenol, dan masih perawan, pakai alasan agama dan alasan jumlah perempuan yang konon lebih banyak. Sok ilmiah, seolah-olah mewajibkan, wuasem,... itu asli ga bener.

Lagipula kalau pun poligami sunah, apa tidak ada sunnah lain yang lebih diutamakan gitu? Tidak perlu juga mengatasnamakan agama atau mencari-cari alasan rasional tanpa data ilmiah yang akurat, bilang saja mau memuaskan syahwat. Beres kan?

Nah,... saya marah juga bukan karena alasan agama tapi karena merasa jatah saya yang masih single ini sudah dijarah ustadz kampret!

Kalau kurang yakin dengan tulisan saya, untuk bahan yang lebih lengkap silakan cek link berikut ini.



Pendidikan Kesehatan Usia Dini dan Transisi Budaya Kesehatan (Sebuah Saran Mengurai Persoalan Kesehatan)



“Kapan terakhir anda memeriksakan kesehatan ke dokter?”. Jika pertanyaan tersebut diajukan pada masyarakat Indonesia, sebagian besar akan mengingat-ingat kapan terakhir mereka sakit atau minum obat yang dibeli dari warung.  Mungkin juga ada yang sama sekali tidak ingat, karena saat sakit pergi ke dukun.
Pada budaya masyarakat kita, kata “sehat” selalu diidentikan dengan frasa “tidak sakit” atau “bebas penyakit”. Sehingga ketika seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tidak merasakan keluhan apa-apa pada badannya, otomatis dianggap sehat.  Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan kesehatan sebagai kondisi saat fisik, mental, dan sosial seseorang berfungsi optimal, bukan semata ketiadaan penyakit atau kekurangan pada diri yang bersangkutan (Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity). Menurut pengertian tersebut, kata sehat lebih memiliki banyak dimensi, serta tidak selalu berkaitan dengan pengobatan penyakit atau kondisi “tidak sakit”.
Pandangan dua mazhab tersebut melahirkan pendekatan yang berbeda dalam mengelola kesehatan.  Kesehatan dalam budaya masyarakat kita lebih bersifat statis dan tidak memiliki fungsi aktif, peran tenaga medis, dokter pada khususnya, hampir selalu diidentikkan dengan pengobatan. Sedangkan kesehatan yang menjadikan pandangan WHO sebagai titik tolak bersifat dinamis dan memiliki fungsi aktif, peran tenaga medis tidak sebatas mengobati pasien, tetapi termasuk di dalamnya usaha pencegahan.
Sayangnya, pandangan keliru masyarakat memaknai kesehatan diadopsi secara utuh oleh sistem kesehatan Indonesia. Pemogokan dokter yang kita saksikan beberapa waktu lalu adalah gunung es dari sebuah sistem kesehatan yang sesat arah. Dokter dalam sistem kesehatan kita menerima tanggung jawab yang terlalu besar, karena hampir selalu menjadi garda terakhir dengan perannya mengobati pasien. Jika berhasil dokter menjadi dewa penyelamat, tapi ketika salah dan gagal mengobati, dokter menjadi pesakitan yang paling disalahkan atas cacat atau hilangnya nyawa pasien.
Padahal Undang-Undang No. 23/1992 mengamanatkan sistem kesehatan yang lebih holistik daripada pengertian WHO.  Karena selain fisik, mental, dan sosial, juga memasukkan faktor ekonomi sebagai bagian dari kesehatan.  Kenyataannya, dalam fungsinya memelihara kesehatan dan pencegahan penyakit di masyarakat, sistem kesehatan Indonesia masih membutuhkan lebih banyak kerja keras berbagai pihak agar mencapai taraf ideal yang diharapkan.
Di negara-negara maju, pendidikan memegang peran sangat vital untuk mendukung bidang kesehatan. Peran penting tersebut bukan hanya untuk menghasilkan tenaga medis berkualitas, tetapi terutama penanaman kesadaran sejak dini bahwa kesehatan bukanlah tanggung jawab dokter, rumah sakit, ataupun pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu. 
Berkaca dari pendidikan di negara maju, pendidikan di Indonesia sudah semestinya mulai mengurangi pelajaran baca-tulis-hitung dan menambah pengenalan etika hidup dasar bagi siswa sekolah, yang akan bermanfaat ketika dewasa. Termasuk diantara etika hidup tersebut adalah materi kesehatan. Edukasi kesehatan usia dini di sekolah di Indonesia dapat menjadi sebuah langkah awal proses transisi budaya kesehatan masyarakat, dari corak mengobati menjadi memelihara dan mencegah. Dan untuk mengajarkan materi tersebut, tidak ada yang lebih memiliki kompetensi selain tenaga profesional di bidang kesehatan, yaitu para dokter dan perawat.
Kebutuhan tenaga pengajar yang kompeten dalam memberikan pengenalan kesehatan kepada siswa sekolah berbarengan dengan kebutuhan dokter agar masyarakat lebih memahami profesinya.  Banyak yang beranggapan menjadi dokter itu enak, disayang calon mertua karena masa depan cerah, kerja cuma jalan keliling rumah sakit tapi dibayar mahal. Namun jika ditanyakan kepada para dokter bagaimana rasanya menjadi dokter, sepertinya setiap dokter akan mengatakan menjadi dokter lebih banyak susahnya.
Sebuah gambaran bahwa di satu sisi dokter memiliki posisi tinggi dan terhormat dalam masyarakat, sedangkan di sisi lain masyarakat kurang memahami peran dan pekerjaan dokter. Bahkan belakangan ketika kesadaran masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat, sebagian masyarakat tidak lagi menerima nasib atas kematian atau kecacatan dari orang yang dicintainya, tetapi menyalahkan para dokter yang merawat mereka. Masyarakat sering berharap terlalu banyak dari dokter, tanpa mau memahami bahwa dokter juga manusia yang mungkin melakukan kesalahan.
Kebutuhan dari kedua pihak tersebut bisa dipertemukan dalam hubungan simbiosis mutualisme, berupa edukasi kesehatan yang mendukung perubahan paradigma kesehatan di masyarakat.
Selama ini perjuangan meraih gelar dokter dan pengabdian wajib dokter selalu berhubungan dengan persoalan teknis profesi dokter. Dalam usaha merubah budaya kesehatan masyarakat dan penguatan profesi dokter, tidak ada salahnya pengambil kebijakan kesehatan dan pendidikan di Indonesia mempertimbangkan untuk menambahkan aspek mengajar sebagai syarat pengambilan gelar atau pengabdian dokter. Bayangkan pengaruh yang akan dihasilkan ketika seorang dokter muda ditugaskan untuk berbagi pengalaman menjadi dokter kepada anak-anak sekolah suatu daerah, berkeliling ke beberapa sekolah dan mengajarkan kesehatan praktis selama beberapa waktu.  Program yang mungkin bisa diperluas dengan kewajiban mengajar untuk dokter praktik selama satu atau dua hari dalam satu bulan.
Setidaknya ada dua pihak yang mendapat manfaat langsung dari kegiatan tersebut. Bagi siswa sekolah, di samping memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang benar dalam memelihara kesehatan, juga diajarkan untuk memperlakukan kesehatan sebagai aset kehidupan. Agar mereka memahami bahwa setiap orang berkepentingan menjaga kesehatan dirinya demi kebahagian mereka sendiri, dan tidak mengalihkan tanggung jawab kepada dokter dengan memeriksakan kesehatan hanya ketika sakit.
Pertemuan langsung anak-anak dengan dokter akan menanamkan kecintaan pada profesi dokter, sekaligus menjaring anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan dan semangat untuk menjadi dokter sejak usia dini.  Program dokter kecil yang dahulu pernah digagas dan dilaksanakan bisa menjadi acuan yang baik dalam pelaksanaannya. 
Di masa depan, anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman yang benar tentang kesehatan dan pengertian bahwa mengobati tubuh yang sakit membutuhkan biaya yang tidak sedikit cenderung memelihara kesehatannya.  Mereka juga akan lebih memaklumi kekurangan dokter sebagai manusia, tidak berharap berlebihan dari pertolongan dokter dengan membiasakan mencari second opinion*) dalam pengobatan medis, sehingga mengurangi beban tanggung jawab dokter. Masyarakat dengan pandangan kesehatan yang benar juga bisa memahami tanggung jawab seorang dokter sehingga mengurangi pandangan-pandangan keliru dan negatif terhadap profesi mulia dokter karena ulah satu atau dua orang oknum.
Bagi para dokter program tersebut diharapkan bisa memberikan pengalaman dengan dimensi yang berbeda dari persoalan teknis kedokteran, membuka cakrawala tentang persoalan di luar rumah sakit atau tempat praktik, dan memperkuat empati yang menjadi dasar pertolongan seorang dokter.  Semoga dengan pemahaman dan empati yang lebih terasah ketika meraih gelar dokter tersebut, kasus-kasus penyimpangan kode etik kedokteran oleh oknum dokter nakal bisa berkurang.
Pelaksanaan program pendidikan semacam itu tentu saja bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Semata-mata bukan persoalan nilai anggaran kesehatan yang pada tahun 2014 “hanya” sebesar Rp 44,9 triliun, tetapi penggunaan anggaran yang tepat guna, dan kesepahaman dengan departemen lain.  Pemberitaan semacam program Pekan Kondom Nasional tidak perlu lagi kita dengar di masa yang akan datang jika anggaran dimanfaatkan secara tepat. Terkait program pendidikan, yang dibutuhkan adalah kerjasama sinergis antara Departemen Kesehatan dengan Departemen Pendidikan. Dana pendidikan sebesar Rp. 345,335 trilyun semestinya lebih dari cukup untuk dimanfaatkan sebagian pada pos pendidikan kesehatan dan mengakomodasi program pendidikan Departemen Kesehatan.
Tetapi persoalan yang pertama-tama harus dipecahkan adalah kekurangan dan tidak meratanya sebaran dokter di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dokter menjadi satu dari sekian masalah pendidikan kesehatan. Menjadi semacam rahasia umum, untuk menjadi dokter seorang siswa sekolah menengah membutuhkan 4 syarat mutlak: kecerdasan, kegigihan belajar, passion atau niat menolong, dan syarat paling utama kemampuan keuangan. Hanya orang-orang kaya yang boleh menjadi dokter, anak dari keluarga pas-pasan jangan bermimpi bisa mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Sudah saatnya pemerintah memberikan subsidi biaya pendidikan kesehatan dan beasiswa lebih banyak bagi anak-anak negeri dari berbagai daerah yang memperlihatkan kemampuan, semangat dan passion menjadi dokter.  Beasiswa daerah yang ada selama ini bisa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli semacam dokter daerah.  Sehingga nantinya diharapkan ada lebih banyak dokter yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan.


Catatan: *) Dalam dunia medis second opinion diartikan sebagai. pandangan dokter lain yang berbeda,
                  baik berbeda menurut analisa pribadi maupun berbeda menurut kaidah-kaidah keilmuan
      atau spesialisasi dokter. Di negara maju, seseorang yang mencari second opinion ketika
      berobat merupakan hal yang umum ditemui.
Ditulis untuk lomba blog kesehatan yang diadakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat
Update : Juara Harapan , Pengumuman