Jumat, 06 Desember 2013

Pendidikan Kesehatan Usia Dini dan Transisi Budaya Kesehatan (Sebuah Saran Mengurai Persoalan Kesehatan)



“Kapan terakhir anda memeriksakan kesehatan ke dokter?”. Jika pertanyaan tersebut diajukan pada masyarakat Indonesia, sebagian besar akan mengingat-ingat kapan terakhir mereka sakit atau minum obat yang dibeli dari warung.  Mungkin juga ada yang sama sekali tidak ingat, karena saat sakit pergi ke dukun.
Pada budaya masyarakat kita, kata “sehat” selalu diidentikan dengan frasa “tidak sakit” atau “bebas penyakit”. Sehingga ketika seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tidak merasakan keluhan apa-apa pada badannya, otomatis dianggap sehat.  Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan kesehatan sebagai kondisi saat fisik, mental, dan sosial seseorang berfungsi optimal, bukan semata ketiadaan penyakit atau kekurangan pada diri yang bersangkutan (Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity). Menurut pengertian tersebut, kata sehat lebih memiliki banyak dimensi, serta tidak selalu berkaitan dengan pengobatan penyakit atau kondisi “tidak sakit”.
Pandangan dua mazhab tersebut melahirkan pendekatan yang berbeda dalam mengelola kesehatan.  Kesehatan dalam budaya masyarakat kita lebih bersifat statis dan tidak memiliki fungsi aktif, peran tenaga medis, dokter pada khususnya, hampir selalu diidentikkan dengan pengobatan. Sedangkan kesehatan yang menjadikan pandangan WHO sebagai titik tolak bersifat dinamis dan memiliki fungsi aktif, peran tenaga medis tidak sebatas mengobati pasien, tetapi termasuk di dalamnya usaha pencegahan.
Sayangnya, pandangan keliru masyarakat memaknai kesehatan diadopsi secara utuh oleh sistem kesehatan Indonesia. Pemogokan dokter yang kita saksikan beberapa waktu lalu adalah gunung es dari sebuah sistem kesehatan yang sesat arah. Dokter dalam sistem kesehatan kita menerima tanggung jawab yang terlalu besar, karena hampir selalu menjadi garda terakhir dengan perannya mengobati pasien. Jika berhasil dokter menjadi dewa penyelamat, tapi ketika salah dan gagal mengobati, dokter menjadi pesakitan yang paling disalahkan atas cacat atau hilangnya nyawa pasien.
Padahal Undang-Undang No. 23/1992 mengamanatkan sistem kesehatan yang lebih holistik daripada pengertian WHO.  Karena selain fisik, mental, dan sosial, juga memasukkan faktor ekonomi sebagai bagian dari kesehatan.  Kenyataannya, dalam fungsinya memelihara kesehatan dan pencegahan penyakit di masyarakat, sistem kesehatan Indonesia masih membutuhkan lebih banyak kerja keras berbagai pihak agar mencapai taraf ideal yang diharapkan.
Di negara-negara maju, pendidikan memegang peran sangat vital untuk mendukung bidang kesehatan. Peran penting tersebut bukan hanya untuk menghasilkan tenaga medis berkualitas, tetapi terutama penanaman kesadaran sejak dini bahwa kesehatan bukanlah tanggung jawab dokter, rumah sakit, ataupun pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu. 
Berkaca dari pendidikan di negara maju, pendidikan di Indonesia sudah semestinya mulai mengurangi pelajaran baca-tulis-hitung dan menambah pengenalan etika hidup dasar bagi siswa sekolah, yang akan bermanfaat ketika dewasa. Termasuk diantara etika hidup tersebut adalah materi kesehatan. Edukasi kesehatan usia dini di sekolah di Indonesia dapat menjadi sebuah langkah awal proses transisi budaya kesehatan masyarakat, dari corak mengobati menjadi memelihara dan mencegah. Dan untuk mengajarkan materi tersebut, tidak ada yang lebih memiliki kompetensi selain tenaga profesional di bidang kesehatan, yaitu para dokter dan perawat.
Kebutuhan tenaga pengajar yang kompeten dalam memberikan pengenalan kesehatan kepada siswa sekolah berbarengan dengan kebutuhan dokter agar masyarakat lebih memahami profesinya.  Banyak yang beranggapan menjadi dokter itu enak, disayang calon mertua karena masa depan cerah, kerja cuma jalan keliling rumah sakit tapi dibayar mahal. Namun jika ditanyakan kepada para dokter bagaimana rasanya menjadi dokter, sepertinya setiap dokter akan mengatakan menjadi dokter lebih banyak susahnya.
Sebuah gambaran bahwa di satu sisi dokter memiliki posisi tinggi dan terhormat dalam masyarakat, sedangkan di sisi lain masyarakat kurang memahami peran dan pekerjaan dokter. Bahkan belakangan ketika kesadaran masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat, sebagian masyarakat tidak lagi menerima nasib atas kematian atau kecacatan dari orang yang dicintainya, tetapi menyalahkan para dokter yang merawat mereka. Masyarakat sering berharap terlalu banyak dari dokter, tanpa mau memahami bahwa dokter juga manusia yang mungkin melakukan kesalahan.
Kebutuhan dari kedua pihak tersebut bisa dipertemukan dalam hubungan simbiosis mutualisme, berupa edukasi kesehatan yang mendukung perubahan paradigma kesehatan di masyarakat.
Selama ini perjuangan meraih gelar dokter dan pengabdian wajib dokter selalu berhubungan dengan persoalan teknis profesi dokter. Dalam usaha merubah budaya kesehatan masyarakat dan penguatan profesi dokter, tidak ada salahnya pengambil kebijakan kesehatan dan pendidikan di Indonesia mempertimbangkan untuk menambahkan aspek mengajar sebagai syarat pengambilan gelar atau pengabdian dokter. Bayangkan pengaruh yang akan dihasilkan ketika seorang dokter muda ditugaskan untuk berbagi pengalaman menjadi dokter kepada anak-anak sekolah suatu daerah, berkeliling ke beberapa sekolah dan mengajarkan kesehatan praktis selama beberapa waktu.  Program yang mungkin bisa diperluas dengan kewajiban mengajar untuk dokter praktik selama satu atau dua hari dalam satu bulan.
Setidaknya ada dua pihak yang mendapat manfaat langsung dari kegiatan tersebut. Bagi siswa sekolah, di samping memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang benar dalam memelihara kesehatan, juga diajarkan untuk memperlakukan kesehatan sebagai aset kehidupan. Agar mereka memahami bahwa setiap orang berkepentingan menjaga kesehatan dirinya demi kebahagian mereka sendiri, dan tidak mengalihkan tanggung jawab kepada dokter dengan memeriksakan kesehatan hanya ketika sakit.
Pertemuan langsung anak-anak dengan dokter akan menanamkan kecintaan pada profesi dokter, sekaligus menjaring anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan dan semangat untuk menjadi dokter sejak usia dini.  Program dokter kecil yang dahulu pernah digagas dan dilaksanakan bisa menjadi acuan yang baik dalam pelaksanaannya. 
Di masa depan, anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman yang benar tentang kesehatan dan pengertian bahwa mengobati tubuh yang sakit membutuhkan biaya yang tidak sedikit cenderung memelihara kesehatannya.  Mereka juga akan lebih memaklumi kekurangan dokter sebagai manusia, tidak berharap berlebihan dari pertolongan dokter dengan membiasakan mencari second opinion*) dalam pengobatan medis, sehingga mengurangi beban tanggung jawab dokter. Masyarakat dengan pandangan kesehatan yang benar juga bisa memahami tanggung jawab seorang dokter sehingga mengurangi pandangan-pandangan keliru dan negatif terhadap profesi mulia dokter karena ulah satu atau dua orang oknum.
Bagi para dokter program tersebut diharapkan bisa memberikan pengalaman dengan dimensi yang berbeda dari persoalan teknis kedokteran, membuka cakrawala tentang persoalan di luar rumah sakit atau tempat praktik, dan memperkuat empati yang menjadi dasar pertolongan seorang dokter.  Semoga dengan pemahaman dan empati yang lebih terasah ketika meraih gelar dokter tersebut, kasus-kasus penyimpangan kode etik kedokteran oleh oknum dokter nakal bisa berkurang.
Pelaksanaan program pendidikan semacam itu tentu saja bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Semata-mata bukan persoalan nilai anggaran kesehatan yang pada tahun 2014 “hanya” sebesar Rp 44,9 triliun, tetapi penggunaan anggaran yang tepat guna, dan kesepahaman dengan departemen lain.  Pemberitaan semacam program Pekan Kondom Nasional tidak perlu lagi kita dengar di masa yang akan datang jika anggaran dimanfaatkan secara tepat. Terkait program pendidikan, yang dibutuhkan adalah kerjasama sinergis antara Departemen Kesehatan dengan Departemen Pendidikan. Dana pendidikan sebesar Rp. 345,335 trilyun semestinya lebih dari cukup untuk dimanfaatkan sebagian pada pos pendidikan kesehatan dan mengakomodasi program pendidikan Departemen Kesehatan.
Tetapi persoalan yang pertama-tama harus dipecahkan adalah kekurangan dan tidak meratanya sebaran dokter di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dokter menjadi satu dari sekian masalah pendidikan kesehatan. Menjadi semacam rahasia umum, untuk menjadi dokter seorang siswa sekolah menengah membutuhkan 4 syarat mutlak: kecerdasan, kegigihan belajar, passion atau niat menolong, dan syarat paling utama kemampuan keuangan. Hanya orang-orang kaya yang boleh menjadi dokter, anak dari keluarga pas-pasan jangan bermimpi bisa mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Sudah saatnya pemerintah memberikan subsidi biaya pendidikan kesehatan dan beasiswa lebih banyak bagi anak-anak negeri dari berbagai daerah yang memperlihatkan kemampuan, semangat dan passion menjadi dokter.  Beasiswa daerah yang ada selama ini bisa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli semacam dokter daerah.  Sehingga nantinya diharapkan ada lebih banyak dokter yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan.


Catatan: *) Dalam dunia medis second opinion diartikan sebagai. pandangan dokter lain yang berbeda,
                  baik berbeda menurut analisa pribadi maupun berbeda menurut kaidah-kaidah keilmuan
      atau spesialisasi dokter. Di negara maju, seseorang yang mencari second opinion ketika
      berobat merupakan hal yang umum ditemui.
Ditulis untuk lomba blog kesehatan yang diadakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat
Update : Juara Harapan , Pengumuman




3 komentar:

  1. bner bgt.. edukasi kesehatan utk masyarakat itu patut diprioritaskan

    BalasHapus
  2. Susunan artikel yang tertata apik. Mantap tulisannya :)

    BalasHapus