“Kapan terakhir anda memeriksakan
kesehatan ke dokter?”. Jika pertanyaan tersebut diajukan pada masyarakat
Indonesia, sebagian besar akan mengingat-ingat kapan terakhir mereka sakit atau
minum obat yang dibeli dari warung. Mungkin
juga ada yang sama sekali tidak ingat, karena saat sakit pergi ke dukun.
Pada budaya masyarakat kita, kata
“sehat” selalu diidentikan dengan frasa “tidak sakit” atau “bebas penyakit”.
Sehingga ketika seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tidak
merasakan keluhan apa-apa pada badannya, otomatis dianggap sehat. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan kesehatan sebagai kondisi saat fisik, mental, dan sosial seseorang berfungsi
optimal, bukan semata ketiadaan penyakit atau kekurangan pada diri yang
bersangkutan (Health is a state of complete physical, mental and social
well-being and not merely the absence of disease or infirmity). Menurut pengertian
tersebut, kata sehat lebih memiliki banyak dimensi, serta tidak selalu
berkaitan dengan pengobatan penyakit atau kondisi “tidak sakit”.
Pandangan dua mazhab tersebut
melahirkan pendekatan yang berbeda dalam mengelola kesehatan. Kesehatan dalam budaya masyarakat kita lebih bersifat
statis dan tidak memiliki fungsi aktif, peran tenaga medis, dokter pada
khususnya, hampir selalu diidentikkan dengan pengobatan. Sedangkan kesehatan
yang menjadikan pandangan WHO sebagai titik tolak bersifat dinamis dan memiliki
fungsi aktif, peran tenaga medis tidak sebatas mengobati pasien, tetapi
termasuk di dalamnya usaha pencegahan.
Sayangnya, pandangan keliru
masyarakat memaknai kesehatan diadopsi secara utuh oleh sistem kesehatan
Indonesia. Pemogokan dokter yang kita saksikan beberapa waktu lalu adalah gunung
es dari sebuah sistem kesehatan yang sesat arah. Dokter dalam sistem kesehatan kita
menerima tanggung jawab yang terlalu besar, karena hampir selalu menjadi garda
terakhir dengan perannya mengobati pasien. Jika berhasil dokter menjadi dewa
penyelamat, tapi ketika salah dan gagal mengobati, dokter menjadi pesakitan
yang paling disalahkan atas cacat atau hilangnya nyawa pasien.
Padahal Undang-Undang No. 23/1992
mengamanatkan sistem kesehatan yang lebih holistik daripada pengertian WHO. Karena selain fisik, mental, dan sosial, juga
memasukkan faktor ekonomi sebagai bagian dari kesehatan. Kenyataannya, dalam fungsinya memelihara
kesehatan dan pencegahan penyakit di masyarakat, sistem kesehatan Indonesia masih
membutuhkan lebih banyak kerja keras berbagai pihak agar mencapai taraf ideal
yang diharapkan.
Di negara-negara maju, pendidikan
memegang peran sangat vital untuk mendukung bidang kesehatan. Peran penting tersebut
bukan hanya untuk menghasilkan tenaga medis berkualitas, tetapi terutama penanaman
kesadaran sejak dini bahwa kesehatan bukanlah tanggung jawab dokter, rumah
sakit, ataupun pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu.
Berkaca dari pendidikan di negara
maju, pendidikan di Indonesia sudah semestinya mulai mengurangi pelajaran baca-tulis-hitung
dan menambah pengenalan etika hidup dasar bagi siswa sekolah, yang akan
bermanfaat ketika dewasa. Termasuk diantara etika hidup tersebut adalah materi kesehatan.
Edukasi kesehatan usia dini di sekolah di Indonesia dapat menjadi sebuah langkah
awal proses transisi budaya kesehatan masyarakat, dari corak mengobati menjadi memelihara
dan mencegah. Dan untuk mengajarkan materi tersebut, tidak ada yang lebih
memiliki kompetensi selain tenaga profesional di bidang kesehatan, yaitu para
dokter dan perawat.
Kebutuhan tenaga pengajar yang
kompeten dalam memberikan pengenalan kesehatan kepada siswa sekolah berbarengan
dengan kebutuhan dokter agar masyarakat lebih memahami profesinya. Banyak yang beranggapan menjadi dokter itu
enak, disayang calon mertua karena masa depan cerah, kerja cuma jalan keliling
rumah sakit tapi dibayar mahal. Namun jika ditanyakan kepada para dokter
bagaimana rasanya menjadi dokter, sepertinya setiap dokter akan mengatakan
menjadi dokter lebih banyak susahnya.
Sebuah gambaran bahwa di satu
sisi dokter memiliki posisi tinggi dan terhormat dalam masyarakat, sedangkan di
sisi lain masyarakat kurang memahami peran dan pekerjaan dokter. Bahkan
belakangan ketika kesadaran masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat,
sebagian masyarakat tidak lagi menerima nasib atas kematian atau kecacatan dari
orang yang dicintainya, tetapi menyalahkan para dokter yang merawat mereka. Masyarakat
sering berharap terlalu banyak dari dokter, tanpa mau memahami bahwa dokter
juga manusia yang mungkin melakukan kesalahan.
Kebutuhan dari kedua pihak
tersebut bisa dipertemukan dalam hubungan simbiosis mutualisme, berupa edukasi kesehatan
yang mendukung perubahan paradigma kesehatan di masyarakat.
Selama ini perjuangan meraih
gelar dokter dan pengabdian wajib dokter selalu berhubungan dengan persoalan
teknis profesi dokter. Dalam usaha merubah budaya kesehatan masyarakat dan
penguatan profesi dokter, tidak ada salahnya pengambil kebijakan kesehatan dan
pendidikan di Indonesia mempertimbangkan untuk menambahkan aspek mengajar sebagai
syarat pengambilan gelar atau pengabdian dokter. Bayangkan pengaruh yang akan dihasilkan
ketika seorang dokter muda ditugaskan untuk berbagi pengalaman menjadi dokter
kepada anak-anak sekolah suatu daerah, berkeliling ke beberapa sekolah dan mengajarkan kesehatan praktis selama
beberapa waktu. Program yang mungkin
bisa diperluas dengan kewajiban mengajar untuk dokter praktik selama satu atau dua hari dalam satu bulan.
Setidaknya ada dua pihak yang
mendapat manfaat langsung dari kegiatan tersebut. Bagi siswa sekolah, di
samping memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang benar dalam memelihara
kesehatan, juga diajarkan untuk memperlakukan kesehatan sebagai aset kehidupan.
Agar mereka memahami bahwa setiap orang berkepentingan menjaga kesehatan
dirinya demi kebahagian mereka sendiri, dan tidak mengalihkan tanggung jawab
kepada dokter dengan memeriksakan kesehatan hanya ketika sakit.
Pertemuan langsung anak-anak
dengan dokter akan menanamkan kecintaan pada profesi dokter, sekaligus menjaring
anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan dan semangat untuk menjadi dokter
sejak usia dini. Program dokter kecil
yang dahulu pernah digagas dan dilaksanakan bisa menjadi acuan yang baik dalam
pelaksanaannya.
Di masa depan, anak-anak yang
tumbuh dengan pemahaman yang benar tentang kesehatan dan pengertian bahwa
mengobati tubuh yang sakit membutuhkan biaya yang tidak sedikit cenderung memelihara
kesehatannya. Mereka juga akan
lebih memaklumi kekurangan dokter sebagai manusia, tidak berharap berlebihan
dari pertolongan dokter dengan membiasakan mencari second opinion*) dalam
pengobatan medis, sehingga mengurangi beban tanggung jawab dokter. Masyarakat dengan
pandangan kesehatan yang benar juga bisa memahami tanggung jawab seorang dokter
sehingga mengurangi pandangan-pandangan keliru dan negatif terhadap profesi mulia
dokter karena ulah satu atau dua orang oknum.
Bagi para dokter program tersebut
diharapkan bisa memberikan pengalaman dengan dimensi yang berbeda dari persoalan
teknis kedokteran, membuka cakrawala tentang persoalan di luar rumah sakit atau
tempat praktik, dan memperkuat empati yang menjadi dasar pertolongan seorang
dokter. Semoga dengan pemahaman dan
empati yang lebih terasah ketika meraih gelar dokter tersebut, kasus-kasus
penyimpangan kode etik kedokteran oleh oknum dokter nakal bisa berkurang.
Pelaksanaan program pendidikan semacam
itu tentu saja bukan hal yang mudah untuk dijalankan. Semata-mata bukan
persoalan nilai anggaran kesehatan yang pada tahun 2014 “hanya” sebesar Rp 44,9
triliun, tetapi penggunaan anggaran yang tepat guna, dan kesepahaman dengan
departemen lain. Pemberitaan
semacam program Pekan Kondom Nasional tidak perlu lagi kita dengar di masa yang
akan datang jika anggaran dimanfaatkan secara tepat. Terkait program pendidikan,
yang dibutuhkan adalah kerjasama sinergis antara Departemen Kesehatan dengan
Departemen Pendidikan. Dana pendidikan sebesar Rp. 345,335 trilyun semestinya
lebih dari cukup untuk dimanfaatkan sebagian pada pos pendidikan kesehatan dan mengakomodasi
program pendidikan Departemen Kesehatan.
Tetapi persoalan yang
pertama-tama harus dipecahkan adalah kekurangan dan tidak meratanya sebaran
dokter di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dokter menjadi satu dari sekian masalah
pendidikan kesehatan. Menjadi semacam rahasia umum, untuk menjadi dokter
seorang siswa sekolah menengah membutuhkan 4 syarat mutlak: kecerdasan,
kegigihan belajar, passion atau niat menolong, dan syarat paling utama
kemampuan keuangan. Hanya orang-orang kaya yang boleh menjadi dokter, anak dari
keluarga pas-pasan jangan bermimpi bisa mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Sudah saatnya pemerintah
memberikan subsidi biaya pendidikan kesehatan dan beasiswa lebih banyak bagi anak-anak
negeri dari berbagai daerah yang memperlihatkan kemampuan, semangat dan passion
menjadi dokter. Beasiswa daerah yang ada
selama ini bisa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli semacam dokter
daerah. Sehingga nantinya diharapkan ada
lebih banyak dokter yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengkampanyekan
pentingnya menjaga kesehatan.
Catatan: *) Dalam dunia medis second
opinion diartikan sebagai. pandangan dokter lain yang berbeda,
baik berbeda menurut analisa pribadi maupun berbeda menurut kaidah-kaidah keilmuan
baik berbeda menurut analisa pribadi maupun berbeda menurut kaidah-kaidah keilmuan
atau spesialisasi dokter. Di negara maju,
seseorang yang mencari second opinion ketika
berobat merupakan hal yang umum ditemui.
Ditulis untuk lomba blog kesehatan yang diadakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat
Update : Juara Harapan , Pengumuman
Ditulis untuk lomba blog kesehatan yang diadakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat
Update : Juara Harapan , Pengumuman
bner bgt.. edukasi kesehatan utk masyarakat itu patut diprioritaskan
BalasHapusSusunan artikel yang tertata apik. Mantap tulisannya :)
BalasHapusthanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id